Program-Program Kehutanan Masyarakat di Indonesia

Di Indonesia dikenal istilah Perhutanan Sosial, Kehutanan Sosial, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Serbaguna, dan Hutan Rakyat.

Kartasubrata (1988) memandang bahwa istilah perhutanan sosial, kehutanan sosial, dan hutan kemasyarakatan sebagai padanan istilah social forestry, yang pada artikel ini akan menggunakan istilah kehutanan masyarakat. Lokasi pengembangan program-program tersebut sebagian pada tanah milik, sebagian lain pada tanah negara (hutan produksi, lindung, dan konservasi). Wujud dari program-program kehutanan masyarakat adalah apa yang disebut kebun campuran, pekarangan, hutan rakyat, usaha persuteraan, dan lebah madu.

Kehutanan Masyarakat

Kehutanan Masyarakat via changemakers.com

1. Pengembangan Hutan Rakyat di Tanah Milik

Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dala program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK (Undang-Undang Pokok Kehutanan) Tahun 1967. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri” (Wartapura 1990). Secara nasional pengembangan hutan rakyat di bawah payung program penghijauan diselenggarakan pada tahun 1960-an, tepatnya saat Pekan Raya Penghijauan pertama tahun 1961.

Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Dalam hutan rakyat diusahakan tanaman pohon-pohon yang hasil utamanya kayu, seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), dan Akasia (Acacia auriculiformis). Selain kayu ada juga pohon penghasil getah Kemenyan (Styrax benzoin), Damar (Shorea javanica)) dan pohon penghasil buah seperti Kemiri.

Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas tanah milik. Pengertian seperti itu kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta kehutanan. Penekanan pada kata rakyat kiranya lebih ditujukan kepada pengelola yaitu “rakyat kebanyakan”, bukan pada status pemilikan tanahnya. Dengan menekankan kata rakyat membuka peluang bagi rakyat sekitar hutan untuk mengelola hutan di tanah negara. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan tetap dipertahankan maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (sedang dan besar) menguasai tanah milik untuk mengusahakan hutan. Namun tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat.

KLIK DI SINI UNTUK TERUS MEMBACA