Pembalakan Liar Bukan Salah Rakyat!

Ilustrasi
Ilustrasi

Beberapa tahun silam, saya pernah menghadiri suatu diskusi bersama anggota DPRD Kabupaten Meranti di Yogyakarta.

Kebetulan diskusi tersebut sekaligus kunjungan anggota dewan kepada mahasiswa Kabupaten Meranti yang belajar di Yogyakarta.

Salah satu pembahasan yang fokus didiskusikan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Lebih spesifik kami berdiskusi mengenai pengelolaan hutan.

Hampir 35 menit diskusi berlangsung, saya menjadi salah satu peserta yang asyik mendengarkan.

Oh ya, Kabupaten Kepulauan Meranti adalah wilayah pesisir yang strategis karena berada di perbatasan antara wilayah Indonesia dan Malaysia.

Secara administratif, Kabupaten Meranti merupakan wilayah teritorial Provinsi Riau.

Provinsi ini yang bisa dikatakan penuh dengan selogan, tapi seringkali dikelola secara acak-acakan.

“Sumber daya hutan adalah potensi besar di daerah kita, maka haruslah kita rawat bersama-sama. Kita sebagai generasi muda yang terpelajar harus mampu mengurangi pembalakan liar.”

Begitulah sepenggal ucapan yang keluar dari wakil rakyat sebagai pemateri diskusi.

Itu ucapnya yang sangat normatif yang sering sekali saya dengarkan jika sudah menyangkut persoalan hutan.

Diskusi berlangsung dengan normal, hingga masuk sesi tanya jawab.

Banyak juga rekan-rekan mahasiswa yang bertanya dengan bahasa intelektualnya.

Pemateri juga dengan sigap menjawab dengan bahasa akademis dan teoritis untuk menangkis pertanyaan-pertanyaan kritis.

Tapi saya sontak naik darah, ketika salah satu anggota anggota dewan mulai angkat bicara.

“Pembalakan liar (lIleggal logging) itu sering terjadi oleh ulah masyarakat di kampung-kampung. Tentu pemerintah sulit mendisplinkan masyarakat yang liar dan tidak mau mendengarkan peraturan pemerintah yang akhirnya berujung penangkapan.”

Naik tensi darah saya seketika, mendengar ucapan yang saya pandang biadab dan tidak bertanggungjawab.

Seolah-olah ingin menyelesaikan persoalan, tapi sudah mengamankan kesimpulan.

Masyarakat dipandang penyebab dari kekacauan dan kerusakan hutan.

Jika wakil rakyat sudah menganggap masyarakat adalah sumber dari masalah, maka mereka mewakili rakyat yang mana?

Rakyat mana yang disalahkan, terus apa peran mereka untuk menyelesaikan persoalan?

Masih segar dalam catatan saya.

Ada sebuah lembaga kehutanan yang menyatakan, sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta jiwa di antaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin.

Berdasarkan data tersebut diketahui sekitar 6 juta jiwa penduduk memiliki mata pencaharian langsung dari hutan dan sekitar 3,4 juta jiwa di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan.

Namun, kebijakan pembangunan bidang kehutanan yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai belum mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di sekitar area hutan secara optimal.

Oleh karena itu, pemerintah harus ikut serius mengelola sumberdaya hutan yang ada.

KLIK DI SINI UNTUK TERUS MEMBACA