Berwisata Menikmati Burung di Hutan ‘Baru’ Universitas Sebelas Maret

Wisata alam selalu identik dengan mengunjungi panorama lanskap seperti gunung, pantai, air terjun, danau, dsb.

Kegiatan lain dalam berwisata alam seperti pengamatan satwa liar kurang begitu muncul di permukaan.

Padahal, jika melihat status Indonesia sebagai negara megabiodiversitas tentu peluang pengembangan wisata ini begitu cerah.

Indonesia memiliki kekayaan satwa liar yang begitu luar biasa mulai dari mamalia sebanyak 515 jenis (12% dunia), herpetofauna sebanyak 718 jenis (7,3% dunia) sampai burung sebanyak 1531 jenis (17% dunia)1.

Dengan berbagai daya tariknya mulai dari warna tubuh, suara, tingkah laku dan kemudahan perjumpaan, burung relatif paling mudah dan prospektif dikembangkan menjadi objek wisata pengamatan satwa liar di Indonesia.

Wisata Pengamatan Burung

Berwisata menikmati burung di Hutan UNS (Sumber Dokumentasi Penulis)

Istilah keren untuk menyebut wisata pengamatan burung beragam mulai dari avitourism, ornitho-tourism, birding tourism, sampai birdwatching tourism.

Semuanya dapat dimaknai sebagai kegiatan mengamati burung dan tingkah lakunya di habitat alami.

Penyebutan wisatawan untuk avitourism juga banyak dari yang lumrah disebut avitourist, birder ataupun birdwatcher.

Level ekstrem punya sebutan sendiri, twitcher yaitu birder yang begitu fanatik lewat apapun caranya ditempuh untuk berjumpa jenis burung sebanyak-banyaknya, fanatismenya ini bisa disandingkan dengan suporter sepakbola.

Saking gilanya dalam mengamati burung, kegiatan ini sampai diangkat ke layar lebar melalui film Big Year pada tahun 2011.

Keuntungan dari wisata pengamatan burung tak bisa dianggap enteng.

Di Amerika Serikat, kegiatan pengamatan burung menghabiskan total 72 miliar USD pada tahun 20162.

Selain ekonomi, avitourism dapat meningkatkan pendapatan komunitas lokal dan pemahaman konservasi biodiversitas seperti di Afrika Selatan3.

Bahkan luar biasanya bisa menjadi gerakan pengumpulan data ilmiah seperti distribusi, populasi, maupun data ilmiah lainnya oleh masyarakat awam.

Gerakan ini sering disebut citizen scientist, hanya berbekal ponsel pintar, orang awam tidak harus peneliti profesional bisa menyumbang data ilmiah dari skala global lewat platform bernama EBird, lingkup lebih sempit seperti di Indonesia lewat platform sendiri bernama Burungnesia.

KLIK DI SINI UNTUK TERUS MEMBACA