Belum Ada Peraturan Khusus yang Melindungi Hak-hak Kolektif Perempuan Adat

Perempuan AMAN menemukan fakta bahwa belum ada peraturan yang secara khusus melindungi hak-hak kolektif perempuan adat dengan karakteristik yang khusus dan berbeda.

Salah satu contohnya adalah perempuan adat di Nusa Tenggara Timur yang memiliki pengetahuan untuk mengelola danau di wilayah adatnya secara kolektif.

Mereka memanfaatkan lumpur di danau sebagai bahan pewarna kain tenun.

Pengetahuan ini dipraktikkan serta terus dikembangkan mengikuti perkembangan waktu dan perubahan yang terjadi atas wilayah kelolanya.

Oleh karena itu, penguasaan kolektif perempuan adat yang membentuk keadaban dan peradaban masyarakat adat perlu diakui dan dihormati sebagai hak.

Hak ini tentunya secara eksplisit wajib dimuat dalam RUU Masyarakat Adat.

Demikian disampaikan oleh Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia pada seminar daring Perempuan AMAN dengan tajuk “Hak-Hak Kolektif Perempuan Adat” pada 16 Juli 2020.

Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia
Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia (Sumber: Dokumentasi Perempuan AMAN)

Sejauh ini, Perempuan AMAN menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan (bukan hanya UU) hanya melindungi perempuan adat sebagai warga negara atau hak individu sebagai warga negara.

Sementara itu, hak kolektif perempuan adat sebagai bagian dari komunitas adat tak juga memiliki tempat.

Pemaknaan hak kolektif perempuan adat tidak disandarkan pada penguasaan atas ‘sesuatu’ baik berupa wilayah, barang atau produk budaya lain di dalam komunitasnya.

Hak kolektif perempuan dapat diterjemahkan sebagai bentuk akses dalam pemanfaatan, pengelolaan, perawatan, pengembangan, pertukaran, dan keberlanjutan antar generasi.

Hak ini berujung pada pemaknaan kolektivitas.

KLIK DI SINI UNTUK TERUS MEMBACA